AriraNews.com, PENDIDIKAN – Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting guna mendanai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan mencapai kemandirian daerah. Sejak tahun 1957, pemerintah terus melakukan penyempurnaan sistem pajak daerah melalui perubahan undang-undang pajak daerah agar penerimaan daerah, terutama dari sektor pajak daerah, terus optimal.
Undang-undang pajak daerah yang terbaru saat ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). Lahirnya UU HKPD ini berimplikasi pada berubahnya pola pelaksanaan operasional dalam pungutan pajak dan retribusi di daerah. Dalam UU HKPD mencakup topik terkait restrukturisasi pajak daerah dan penyederhanaan jenis retribusi.
Restrukturisasi dan penyederhanaan ini dilakukan guna menyederhanakan administrasi perpajakan agar manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya pemungutan dan mempermudah pengawasan pemungutan pajak. Namun, mekanisme pemungutan pajak dan retribusi daerah (PDRD) yang berubah akan menyulitkan daerah untuk mempersiapkan peraturan daerah, terutama apabila regulasi turunannya belum diselesaikan.
Anggota DPD RI Muslim Yatim menyampaikan melalui Pajak.com bahwa pemerintah daerah di seluruh Indonesia saat ini telah membuat rancangan peraturan pemerintah daerah baru tentang PDRD tetapi mengalami kendala akibat belum diterbitkannya aturan turunan. Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun daerah perlu untuk menyegerakan aturan turunan UU HKPD.
Untuk merespons persoalan tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP 35/2023) sebagai aturan pelaksana dari UU HKPD. PP ini berlaku secara efektif sejak 16 Juni 2023 untuk memberikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah mengenai PDRD serta memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi berbagai pokok kebijakan pajak dan retribusi yang telah diatur dalam UU HKPD. Dalam PP 35/2023 juga terangkum semua jenis PDRD yang penerapannya dilakukan melalui penerbitan peraturan daerah. Salah satu jenis PDRD yang diatur dalam PP ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 37 UU HKPD, yakni sebagai pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Sejak diundangkannya UU HKPD, ketentuan lebih lanjut terkait pelaksanaan BPHTB tidak lagi merujuk pada UU PDRD, melainkan merujuk pada regulasi turunan UU HKPD, yakni PP 35/2023. Terdapat beberapa perubahan aturan terkait pelaksanaan kewajiban BPHTB dalam PP 35/2023, termasuk perubahan terkait saat terutangnya BPHTB.
Mengacu pada Pasal 18 PP 35/2023, dijelaskan bahwa saat terutangnya BPHTB, khususnya mengenai Jual beli Tanah dan/atau Bangunan adalah pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk jual beli. Selanjutnya, pada keterangan dengan pasal yang sama apabila peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak menggunakan PPJB maka saat terutangnya bisa pada waktu ditandatanganinya akta jual beli. Ketentuan pembuatan akta PJB dikenal terdapat dua jenis berdasarkan cara pembayarannya yaitu PJB lunas dan tidak lunas. PJB lunas ialah apabila setiap harga sudah dilunasi namun penandatanganan akta masih belum dapat dilakukan karena masalah dan lain hal. Sedangkan, PJB tidak lunas adalah harga yang masih harus dibayarkan dengan bertahap.
Aturan baru tersebut berbeda dengan ketentuan yang berlaku sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada Pasal 90 ayat (1) huruf a UU PDRD, diatur bahwa saat terutangnya BPHTB ditetapkan untuk jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
Merujuk pada peraturan sebelumnya, BPHTB akan terutang ketika ditandatanganinya akta jual beli. Merujuk pada Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, penandatangan akta jual beli itu sendiri ditandatangani penjual dan pembeli dihadapan PPAT ketika: bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, serta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait; dan proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah telah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual. Hal tersebut sesuai pula dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 117 Tahun 2019 tentang Penyetoran BPHTB Atas Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (Pergub No. 117/2019).
Dalam Pergub No. 117/2019, diatur bahwa penyetoran BPHTB dilakukan pada saat objek telah selesai dibangun dan pembayaran lainnya juga sudah lunas.
Berbeda dengan aturan sebelumnya, pada PP 35/2023 diatur bahwa BPHTB akan terutang pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk jual beli. Atas ketentuan tersebut, maka kemudian dapat menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai saat tepat terutangnya BPHTB mengingat terdapat dua cara dilakukannya penandatanganan PJB, yaitu PJB lunas dan tidak lunas. Untuk PJB tidak lunas, maka apakah saat terutangnya BPHTB akan terjadi pada saat dilakukan pembayaran tahap pertama atau ketika sudah dilunasi seluruhnya? Apabila BPHTB terutang pada saat dilakukannya pembayaran tahap pertama, maka akan menjadi masalah ketika terjadi pembatalan perjanjian atau kegagalan perjanjian dalam prosesnya.
Hal tersebut juga tidak sesuai dengan definisi BPHTB itu sendiri di mana seharusnya BPHTB dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam hal ini, seharusnya BPHTB akan terutang pada saat pembeli telah benar-benar memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Apabila pembeli belum melakukan pelunasan, maka sulit untuk mengatakan bahwa telah terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan secara penuh.
Atas aturan baru terkait saat terutangnya pajak tersebut, pemerintah daerah perlu mengaturnya secara lebih jelas agar tidak menimbulkan kemungkinan masalah atau dispute pada saat pelaksanaannya. Pemerintah juga perlu mengkaji dan memeriksa lebih lanjut apakah ketentuan baru tersebut telah mengadopsi prinsip yang benar dan telah sesuai dengan definisi sebenarnya.(***)
Daftar Pustaka
Handayani, R. (2023, March 25). Pajak.com. Retrieved from Ketum APPSI Minta Percepatan PP Turunan UU HKPD: https://www.pajak.com/pajak/ketum-appsi-minta-percepatan-pp-turunan-uu-hkpd/
Handayani, R. (2023, June 25). Pajak.com. Retrieved from Pedoman Penting bagi Pemda pada Aturan Turunan HKPD: https://www.pajak.com/pajak/pedoman-penting-bagi-pemda-pada-aturan-turunan-hkpd/
Hendra, M. (2023, February 9). Bisnis.com. Retrieved from Terkait UU Pajak dan Retribusi Daerah, Ini Langkah yang Dilakukan Pemprov Sumbar Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Terkait UU Pajak dan Retribusi Daerah, Ini Langkah yang Dilakukan Pemprov Sumbar”, Klik selengkapnya di sini: https://su: https://sumatra.bisnis.com/read/20230209/534/1626473/terkait-uu-pajak-dan-retribusi-daerah-ini-langkah-yang-dilakukan-pemprov-sumbar
Indomitra, P. (2023, August 23). Pratama Institute. Retrieved from Kupas Tuntas PP-35/2023 tentang Ketentuan Terbaru Pajak Daerah & Retribusi Daerah (PDRD): https://tri.pratamaindomitra.co.id/aturan-pajak-daerah-retribusi-daerah/
Purnamasari, I. (2023, July 17). Hukumonline.com. Retrieved from Hak Belum Beralih Tapi BPHTB Harus Lunas Dulu: https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-belum-beralih-tapi-bphtb-harus-lunas-dulu-lt64b51dd4b9621/?page=1
Biodata Penulis:
Fayza Safinatunnaza, Mahasiswa semester 5 Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi.
Lidya Meina Chairunnisa, Mahasiswa semester 5 Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi.
Shekina Glory, Mahasiswa semester 5 Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi.