Ariranews.com, Batam: Proses penutuhan (scrap) kapal di PT Graha Trisaka Industri (GTI), Tanjunguncang, Batam, diduga melanggar prosedur. Akibatnya bisa merugikan negara.
Hal tersebut terungkap saat rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi I DPRD Batam, Senin (1/3/2021) siang. Hadir dalam RDP tersebut, Anggota Komisi I DPRD Batam, pihak perusahaan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan (KSOP) Khusus Batam, Imigrasi, Bea Cukai, Dinas Lingkungan Hidup, Karantina, dan pihak lainnya. Rapat sendiri dipimpin Ketua Komisi I DPRD Batam, Budi Mardiyanto.
Dalam RDP tersebut terungkap, pihak perusahaan belum memiliki izin untuk melakukan penutuhan kapal tersebut. Yakni dari Kementerian Perhubungan, melalui KSOP Khusus Batam.
“Syarat-syarat sudah masuk. Tapi, KSOP tidak bisa keluarkan izin pemotongan. Kita hanya keluarkan surat keterangan. Kalau mau potong harus izin ke Jakarta. Ke Direktorat Perkapalan dan Kelautan,” ungkap Astono, yang mewakili KSOP Khusus Batam.
KSOP pun kata Astono, sudah mengirimkan surat ke pihak perusahaan untuk menghentikan kegiatan pemotongan kapal tersebut. “Kemudian kami mendengar aktifitas penutuhan kapal sudah berlangsung, sehingga kami meminta untuk berhenti,” ungkapnya. Astono juga mengatakan awalnya izin dari kapal tersebut hanyalah docking atau perbaikan.
Dia juga mengungkapkan jika dilakukan penutuhan maka harus ada yang dibayarkan pada negara. “Dalam aturannya satu ton Rp50 ribu,” ungkapnya.
Sementara, pihak Imigrasi menjelaskan aturan masuk keluarnya warga negara asing. Pasalnya, diketahui 18 anak buah kapal (ABK) semuanya WNA: 1 orang berasal dari Ukraina dan sisanya dari Filipina.
Ismoyo yang mewakili Imigrasi Kelas I Khusus Batam mengungkap kapal berbendera Bahamas tersebut bertolak dari Australia. Masuk ke Batam melalui agen pelayaran Sinar Mandiri Sejahtera. “Kewenangan kita hanya memeriksa dokumen orangnya atau ABK dan saat masuk pada tanggal 24 Oktober 2020 tak ada masalah,” ungkapnya.
Hampir satu bulan di Batam seluruh ABK meninggalkan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
“27 November 2020 izin meninggalkan Indonesia. Sampai saat ini kru belum kembali,” ungkapnya.
Sementara, Kabid Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) dan Pemeriksa Fisik KPU Bea dan Cukai Tipe B Batam, Sumarna mengungkapkan saat masuk ke Batam, kapal Akasia yang kemudian diketahui discrap di PT GTI tersebut statusnya dalam kondisi kosong. “Kalau kapal masuk itu harus submit dokumen dan sudah tersistem. Masuk dalam keadaan nihil atau kosong. Kalau gak nihil pasti ada pos-pos manifes tertentu,” ungkapnya.
Nah, sampai saat ini belum ada izin lanjutan yang dilakukan agen kapal. “Jadi asumsinya docking. kalau kapal keluar harus ada outbond manifest. Kalau ada penutuhan harus ada syarat lainnya yang harus dipenuhi. Kalau masuk bukan kapal baru harus ada izin Kemendag. Harus dirubah fungsi sebagai barang, rubah peruntukan, rubah manifes, bukan lagi alat angkut. Ijin bisa dikeluarkan BP Batam,” ungkapnya.
“Sebelum ditutuh harus rubah bendera dulu. Bukan kapal asing. Harus ada izin KSOP. Dari KSOP baru izin Bea Cukai. Untuk hasilnya kalau mau diekspor tak harus ada izin. Kalau bawa keluar FTZ (wilayah Indonesia) harus ada yang harus dibayar, bea masuk dan impor,” ungkapnya lagi.
Sementara itu, Sukri yang mewakili PT GTI tak dapat menjelaskan banyak masalah tersebut. Namun, dia mengakui penutuhan kapal sudah dilakukan meski belum memiliki izin, bahkan hasilnya sudah ada yang dijual. “Dijual ke mana saya tak mengetahuinya,” katanya.
Dari hasil RDP tersebut, Ketua Komisi I DPRD Batam, Budi Mardiyanto mengatakan terjadi pelanggaran. “Banyak yang dilanggar. Dokumen masih banyak yang diurus tapi scrab sudah berjalan,” ungkapnya.
Selain akan melakukan RDP lanjutan kata Budi, tak menutup kemungkinan akan membawa kasus tersebut ke tahap selanjutnya, bahkan ke jalur hukum. “Bisa saja kita bawa ke Pusat. Jangan-jangan ada penggelapan. Kita sudah dengar tadi, belum ada izin sudah ada aktifitas bahkan sudah ada (besi) yang dijual,” ujarnya.
Dia pun mengaku kecewa yang mewakili pihak perusahaan bukan yang kompeten. Dia juga menggambarkan potensi kerugian negara. “Tadi juga disebutkan satu ton harus ada setoran ke negara Rp50 ribu. Berat kapal katanya 31 ribu ton, berapa jumlahnya itu,” ujarnya lagi.(emr)