banner 728x90

Mispersepsi Pemungutan Pajak Restoran oleh Wajib Pajak Restoran

Foto/ilustrasi/Int.

AriraNews.com, PENDIDIKAN – Makan dan minum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai macam makanan dan minuman, baik yang dibuat oleh diri sendiri maupun yang sudah diolah oleh orang lain. Seiring dengan perkembangan zaman yang penuh kesibukan, memesan panganan dari restoran menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan oleh banyak orang.

Sering kali, ketika kita membeli makanan dan/atau minuman di restoran, terdapat satu unsur dalam nota tagihan yang cukup menarik perhatian. Istilah Pajak Restoran atau PB1 (Pajak Bangunan 1) dengan besaran 10% turut memengaruhi total nominal yang perlu dibayarkan oleh konsumen. Lalu, sebenarnya, apa yang dimaksud dengan Pajak Restoran itu?

Definisi dari Pajak Restoran
Pajak Restoran didefinisikan sebagai pajak yang dipungut atas pelayanan yang disediakan oleh restoran, meliputi penyediaan, penjualan, atau penyerahan makanan dan/atau minuman, baik yang dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Sebelumnya, pajak yang termasuk pajak kabupaten/kota ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pajak Restoran menjadi salah satu dari lima jenis pajak yang diintegrasikan menjadi nomenklatur pajak baru, yaitu Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara Subjek Pajak dan Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Restoran. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran. Sementara itu, yang menjadi Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan pengusaha restoran yang melakukan penjualan atau penyerahan makanan dan/atau minuman tersebut.

BACA JUGA:   Kolaborasi Massal, BPJS Kesehatan Siap Jalankan Instruksi Presiden

Mispersepsi dalam Pemungutan Pajak Restoran

Adanya perbedaan antara pihak yang menjadi Subjek Pajak dan Wajib Pajak Restoran dapat menimbulkan mispersepsi. Mispersepsi pemungutan Pajak Restoran sering kali berkaitan dengan tindakan pemilik usaha makanan dan/atau minuman sebagai Wajib Pajak Restoran yang kurang mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan. Mereka menganggap bahwa aturan mengenai Pajak Restoran sebagai aturan yang terkesan mengada-ada dan merugikan mereka sebagai pelaku usaha. Namun, hal yang sebenarnya terjadi adalah Pajak Restoran merupakan besaran yang memang dititipkan oleh Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha untuk memungut berdasarkan besaran peredaran usaha yang diperoleh selama satu bulan, di mana besaran tersebut adalah sebesar 10% dari nilai yang diterima pelaku usaha sebagai penghasilan bulanan.

Pajak Restoran yang timbul dari penjualan makanan dan/atau minuman sebetulnya sudah dibayar oleh pelanggan pada saat terjadinya pembayaran atas konsumsi produk tersebut. Oleh karena itu, Pajak Restoran sejatinya dibebankan kepada konsumen dan sifatnya tidak menyulitkan pelaku usaha karena Wajib Pajak Restoran hanya bertugas untuk menyetorkan saja.

Lantas, bagaimana jika Wajib Pajak Restoran tidak melakukan penyetoran? Tentunya, hal tersebut akan merugikan Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan pemerintah telah memberi kepercayaan kepada para pemilik restoran untuk menjalankan tugas sebagai jembatan penghubung konsumen dalam rangka pemungutan Pajak Restoran secara self-assessment. Pemilik restoran pun diharapkan dapat bersikap taat dan patuh terhadap aturan perpajakan yang berlaku di daerah tempat restoran tersebut menjalankan usahanya.

BACA JUGA:   Serap Aplikasi Manajemen, Batam Tourism Polytechnic Jalin Kerja Sama dengan Hotel di Batam

Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh perwakilan dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi DKI Jakarta dalam Focus Group Discussion yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 2023, “Kita sebagai otoritas pajak dari Bapenda mempercayakan kepada Wajib Pajak Restoran dalam menghitung sampai melaporkan sendiri. Intinya, bahwa dalam Pajak Restoran, mereka tidak langsung membayar, tetapi hanya dititipkan, kemudian disetorkan kepada kita (Bapenda) ke kas daerah.”

Banyak alasan yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya mispersepsi pemungutan Pajak Restoran. Salah satunya adalah minimnya pengetahuan Wajib Pajak terkait aturan Pajak Restoran yang berlaku. Ketidakpahaman tersebut bisa saja disebabkan oleh aturan pajak yang kompleks atau informasi mengenai regulasi perpajakan yang kurang jelas. Misalnya, dalam nota pembelian terdapat Pajak Pertambahan Nilai terutang dengan nilai 11%. Padahal, istilah yang seharusnya digunakan adalah PB1 dengan nilai 10% saja. Dalam contoh kasus lain, pemilik restoran juga bisa salah kaprah karena merasa sudah melaporkan Pajak Restoran, sedangkan yang baru diselesaikan hanya kewajiban Pajak Penghasilan.

Minimnya pengetahuan Wajib Pajak Restoran akan berujung pada rendahnya kesadaran untuk mematuhi aturan perpajakan. Selain itu, mispersepsi tersebut tidak jarang terjadi karena timbul pandangan yang negatif terhadap pajak, seperti anggapan bahwa pajak tidak transparan atau bersifat tidak adil dengan mengenakan nilai yang tidak sebanding dengan kemampuan Wajib Pajak untuk membayar.

Upaya Mengatasi Mispersepsi Pemungutan Pajak Restoran


Kunci utama dalam mengatasi mispersepsi terkait pemungutan Pajak Restoran yang terjadi di antara masyarakat terdapat pada peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kebijakan Pajak Restoran secara masif. Kedua upaya tersebut harus dilaksanakan secara beriringan untuk memastikan bahwa masyarakat, terutama Wajib Pajak Restoran, telah memiliki pemahaman yang baik atas kebijakan Pajak Restoran yang berlaku sehingga dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak Restoran.

BACA JUGA:   Literasi Digital, Lindungi Diri di Dunia Digital

Upaya tersebut sebagaimana disampaikan oleh Analis Kebijakan Ahli Madya Pendapatan Daerah, Direktorat Pendapatan Daerah, Bapak Raden An’an Andri Hikmat, pada tanggal 26 November 2023, “Tidak boleh dipisah ya, tidak boleh edukasi saja dan tidak boleh sosialisasi saja. Sosialisasi saja, masyarakat tidak peduli dan tidak akan melaksanakan. Edukasi saja, nanti mereka juga tidak akan paham, kok tiba-tiba begini ya.”

Sosialisasi dan edukasi yang diberikan oleh pemerintah tersebut bertujuan agar masyarakat, terutama Wajib Pajak Restoran, dapat memahami dan mengerti gambaran kebijakan Pajak Restoran yang berlaku. Pemahaman yang baik akan menghasilkan pelaksanaan kebijakan yang optimal tanpa adanya mispersepsi dari masyarakat. Upaya tersebut juga selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengayomi kebijakan Pajak Restoran.(***)

Tim Penulis:
Cresentia Valerie Audrey Evangeline, Mahasiswi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Muhammad Irfan Firdaus, Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Zahra Fakhira Putri Nugroho, Mahasiswi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia