AriraNews.com, BATAM – BPJS Kesehatan menegaskan bahwa layanan kesehatan jiwa merupakan hak seluruh peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menekankan pentingnya akses layanan kesehatan jiwa yang setara sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam menjamin kesehatan fisik maupun mental masyarakat.
Hal ini diungkapkan dalam Media Workshop bertema “Layanan Kesehatan Jiwa Hak Seluruh Peserta” yang digelar di Surakarta, Selasa (16/9/2025). Ghufron menegaskan layanan kesehatan jiwa tidak boleh lagi dipandang sebelah mata.
“Kesehatan jiwa adalah hak fundamental yang harus dijamin negara. BPJS Kesehatan bersama para pemangku kepentingan terus memperkuat sistem layanan agar masyarakat yang membutuhkan mendapatkan akses pengobatan dan rehabilitasi,” ujarnya.
Ia memaparkan, terdapat tren peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan jiwa dalam lima tahun terakhir. Sepanjang 2020–2024, total pembiayaan pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit mencapai sekitar Rp6,77 triliun dengan total 18,9 juta kasus. Skizofrenia menjadi diagnosis dengan beban biaya dan jumlah kasus tertinggi, yakni 7,5 juta kasus dengan total pembiayaan Rp3,5 triliun.
Pada 2024 saja, tercatat sekitar 2,97 juta rujukan kasus jiwa dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Jawa Tengah (3,5 juta kasus), disusul Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
“FKTP berperan penting sebagai pintu utama pelayanan kesehatan jiwa, tidak hanya menjadi kontak pertama, tetapi juga pengelola kontinuitas pengobatan, koordinator layanan, sekaligus pemberi layanan komprehensif,” tegas Ghufron.
BPJS Kesehatan juga mendorong deteksi dini masalah kesehatan jiwa melalui skrining berbasis Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) yang dapat diakses publik melalui situs resmi BPJS Kesehatan. Skrining ini membantu masyarakat mengenali gejala awal gangguan kejiwaan.
“Hasil skrining menjadi dasar pemeriksaan lebih lanjut di FKTP bila terdapat indikasi medis. Pendekatan ini memperkuat upaya promotif dan preventif agar masalah kesehatan jiwa dapat ditangani sejak dini,” katanya.
Selain itu, bagi peserta yang sebelumnya dirawat di rumah sakit dan dinyatakan kondisinya stabil, kini dapat melanjutkan pengobatan di FKTP melalui Program Rujuk Balik (PRB). Peserta JKN tetap dapat melanjutkan pengobatan lebih mudah, dekat dengan tempat tinggal, dan lebih efisien.
Ghufron menegaskan, negara hadir melalui Program JKN untuk memastikan setiap peserta dapat mengakses layanan kesehatan jiwa. BPJS Kesehatan berkomitmen memberikan layanan yang mudah, cepat, dan setara bagi masyarakat Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis Tara de Thouars menilai langkah BPJS Kesehatan sejalan dengan kebutuhan mendesak mengatasi masalah kesehatan mental di masyarakat. Ia menyoroti data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan 1 dari 10 orang Indonesia mengalami masalah mental, sementara 72,4 persen karyawan yang disurvei mengaku juga mengalami masalah mental.
“Angka percobaan bunuh diri bahkan mencapai 10 kali lipat dibandingkan kasus bunuh diri yang tercatat setiap bulan. Survei Indonesia National Mental Health tahun 2024 menunjukkan 39,4 persen remaja mengalami masalah mental dan meningkat 20–30 persen setiap tahun,” kata Tara.
Ia menjelaskan pemicu timbulnya masalah kesehatan mental antara lain tingkat stres tinggi, persaingan ketat di dunia kerja, masalah ekonomi, fear of missing out (FOMO), fenomena sandwich generation, hingga tekanan media sosial.
“Tekanan ini memengaruhi kondisi emosi, pikiran, dan perilaku sehingga menghambat fungsi kehidupan sehari-hari,” katanya.
Sayangnya, stigma negatif masih kuat melekat di masyarakat. Orang dengan gangguan jiwa kerap dicap lemah, kurang bersyukur, atau bahkan dianggap aib, sehingga banyak individu memilih menyembunyikan masalahnya dan enggan mencari pertolongan.
Tara mengimbau masyarakat untuk berhenti memberi label negatif kepada pengidap masalah kesehatan mental agar mereka tidak takut mencari bantuan. Ia juga menekankan pentingnya berhenti menormalisasi gangguan mental sebagai hal biasa atau bahkan tren.
“Yang harus dinormalisasi adalah mencari bantuan profesional dan menemui psikolog atau psikiater. Sebelum kita mengharapkan keadaan menjadi lebih baik bagi diri sendiri dan orang sekitar, mulailah dengan menjaga kesehatan mental. Tanpa kesehatan mental, apa pun tidak akan ada artinya,” kata Tara.
Sementara itu, Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr. Arif Zainudin Surakarta, Wahyu Nur Ambarwati menyatakan pihaknya siap melayani peserta JKN dengan prinsip humanistik. RSJD memiliki 213 tempat tidur rawat inap, termasuk 177 tempat tidur psikiatri, serta instalasi rehabilitasi psikososial untuk membantu pasien meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan produktivitas.
“Jumlah pasien rawat inap di sini paling banyak adalah peserta JKN, dengan total lebih dari 90 persen baik dari segmen PBI maupun non-PBI. Hal ini menunjukkan mayoritas pasien kesehatan jiwa di Surakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada Program JKN,” ungkap Wahyu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, juga menekankan pentingnya sosialisasi skrining kesehatan jiwa berbasis SRQ-20 karena potensi kasus terus meningkat. Menurutnya, pencegahan gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, komunitas, dan masyarakat.
“Jumlah kasus gangguan jiwa terus meningkat tiap tahun. Layanan kesehatan jiwa dalam Program JKN harus inklusif, berkesinambungan, dan tidak diskriminatif. Masyarakat juga harus memastikan keaktifannya sebagai peserta JKN agar tidak menemui kendala saat mengakses layanan,” kata Timboel.
Ia berharap semakin banyak fasilitas kesehatan yang mampu menangani layanan kesehatan jiwa, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Semakin dekat layanan dengan masyarakat, semakin cepat pula gangguan mental dapat ditangani,” katanya. (ara)







